ketika kejujuran dan keteguhan prinsip tak selalu berbuah manis, saat itu lah ujian akan sebuah konsistensi hadir #motivasidiri_taufik
Sponsor
Jumat, 21 Juni 2013
Rabu, 19 Juni 2013
Percakapan antara Djadjang dan Mamad (terkait BBM)
Percakapan antara Djadjang dan Mamad
 
Oleh : Kwik Kian Gie
 
 Kita ikuti percakapan antara Djadjang dan Mamad. Djadjang (Dj) seorang 
anak jalanan yang logikanya kuat dan banyak baca. Mamad (M) seorang 
Doktor yang pandai menghafal.
 
 Dj : “Mad, apa benar sih 
pemerintah mengeluarkan uang tunai yang lebih besar dari harga jualnya 
untuk setiap liter bensin premium ?”
 
 M : “Benar, Presiden SBY 
pernah mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak mentah di pasar 
internasional, semakin besar uang tunai yang harus dikeluarkan oleh 
pemerintah untuk mengadakan bensin. Indopos tanggal 3 Juli 2008 mengutip
 SBY yang berbunyi : “Jika harga minyak USD 150 per barrel, subsidi BBM 
dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun. Kalau USD 160, 
gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk 
BBM.”
 
 Dj : “Jadi apa benar bahwa untuk mengadakan 1 liter 
bensin premium pemerintah mengeluarkan uang lebih dari Rp. 4.500 ? Kamu 
kan doktor Mad, tolong jelaskan perhitungannya bagaimana ?”
 
 M :
 “Gampang sekali, dengarkan baik-baik. Untuk mempermudah perhitungan 
buat kamu yang bukan orang sekolahan, kita anggap saja 1 USD = Rp. 
10.000 dan harga minyak mentah USD 80 per barrel. Biaya untuk mengangkat
 minyak dari perut bumi (lifting) + biaya pengilangan (refining) + biaya
 transportasi rata-rata ke semua pompa bensin = USD 10 per barrel. 1 
barrel = 159 liter. Jadi agar minyak mentah dari perut bumi bisa dijual 
sebagai bensin premium per liternya dikeluarkan uang sebesar (USD 10 : 
159) x Rp. 10.000 = Rp. 628,93 –kita bulatkan menjadi Rp. 630 per liter.
 Harga minyak mentah USD 80 per barrel. Kalau dijadikan satu liter dalam
 rupiah, hitungannya adalah : (80 x 10.000) : 159 = Rp. 5.031,45. Kita 
bulatkan menjadi Rp. 5.000. Maka jumlah seluruhnya kan Rp. 5.000 
ditambah Rp. 630 = Rp. 5.630 ? Dijual Rp. 4.500. Jadi rugi sebesar Rp. 
1.130 per liter (Rp. 5.630 –Rp. 4.500). Kerugian ini yang harus ditutup 
oleh pemerintah dengan uang tunai, dan dinamakan subsidi”.
 
 Dj :
 “Hitung-hitunganmu aku ngerti, karena pernah diajari ketika di SD dan 
diulang-ulang terus di SMP dan SMA. Tapi yang aku tak paham mengapa kau 
menghargai minyak mentah yang milik kita sendiri dengan harga minyak 
yang ditentukan oleh orang lain ?”
 
 M : “Lalu, harus dihargai dengan harga berapa ?”
 
 Dj : Sekarang ini, minyak mentahnya kan sudah dihargai dengan harga 
jual dikurangi dengan harga pokok tunai ? Hitungannya Rp. 4.500 – Rp. 
630 = Rp. 3.870 per liter ? Kenapa pemerintah dan kamu tidak terima ? 
Kenapa harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga yang Rp. 5.000
 ?”
 
 M :” Kan tadi sudah dijelaskan bahwa harga minyak mentah di
 pasar dunia USD 80 per barrel. Kalau dijadikan rupiah dengan kurs 1 USD
 = Rp. 10.000 jatuhnya kan Rp. 5.000 (setelah dibulatkan ke bawah)”.
 
 Dj : “Kenapa kok harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga di pasar dunia ?”
 
 M : “Karena undang-undangnya mengatakan demikian. Baca UU no. 22 tahun 
2001 pasal 28 ayat 2. Bunyinya : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi 
diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Nah, 
persaingan usaha dalam bentuk permintaan dan penawaran yang dicatat dan 
dipadukan dengan rapi di mana lagi kalau tidak di New York Mercantile 
Exchange atau disingkat NYMEX ? Jadi harga yang ditentukan di sanalah 
yang harus dipakai untuk harga minyak mentah dalam menghitung harga 
pokok”.
 
 Dj : “Paham Mad. Tapi itu akal-akalannya korporat asing
 yang ikut membuat Undang-Undang no. 22 tahun 2001 tersebut. Mengapa 
bangsa Idonesia yang mempunyai minyak di bawah perut buminya diharuskan 
membayar harga yang ditentukan oleh NYMEX ? Itulah sebabnya Mahkamah 
Konstitusi menyatakannya bertentangan dengan konstitusi kita. Putusannya
 bernomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : “Pasal 28 ayat (2) yang 
berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada 
mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang Nomor
 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan 
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.”
 
 M : “Kan sudah disikapi dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP) ?”
 
 Dj : Memang, tapi PP-nya yang nomor 36 tahun 2004, pasal 27 ayat (1) 
masih berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, keuali Gas Bumi
 untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME 
PERSAINGAN USAHA YANG WAJAR, SEHAT DAN TRANSPARAN”. Maka sampai sekarang
 istilah “subsidi” masih dipakai terus, karena yang diacu adalah harga 
yang ditentukan oleh NYMEX”
 
 M : “Jadi kalau begitu kebijakan yang dinamakan “menghapus subsidi” itu bertentangan dengan UUD kita ?”
 
 Dj : “Betul. Apalagi masih saja dikatakan bahwa subsidi sama dengan 
uang tunai yang dikeluarkan. Ini bukan hanya melanggar konstitusi, 
tetapi menyesatkan. Uang tunai yang dikeluarkan untuk minyak mentah 
tidak ada, karena milik bangsa Indonesia yang terdapat di bawah perut 
bumi wilayah Republik Indonesia. Menurut saya jiwa UU no. 22/2001 
memaksa bangsa Indonesia terbiasa membayar bensin dengan harga 
internasional. Kalau sudah begitu, perusahaan asing bisa buka pompa 
bensin dan dapat untung dari konsumen bensin Indonesia. Maka kita sudah 
mulai melihat Shell, Petronas, Chevron”.
 
 M : “Kembali pada 
harga, kalau tidak ditentukan oleh NYMEX apakah mesti gratis, sehingga 
yang harus diganti oleh konsumen hanya biaya-biaya tunainya saja yang 
Rp. 630 per liternya ?”
 
 Dj : “Tidak. Tidak pernah pemerintah 
memberlakukan itu dan penyusun pasal 33 UUD kita juga tidak pernah 
berpikir begitu. Sebelum terbitnya UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas,
 pemerintah menentukan harga atas dasar kepatutan, daya beli masyarakat 
dan nilai strategisnya. Sikap dan kebijakan seperti ini yang dianggap 
sebagai perwujudan dari pasal 33 UUD 1945 yang antara lain berbunyi : 
”Barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak 
harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar 
kemakmuran rakyat” Dengan harga Rp. 2.700 untuk premium, harga minyak 
mentahnya kan tidak dihargai nol, tetapi Rp. 2.070 per liter (Rp. 2.700 –
 Rp. 630). Tapi pemerintah tidak terima. Harus disamakan dengan harga 
NYMEX yang ketika itu USD 60, atau sama dengan Rp. 600.000 per 
barrel-nya atau Rp. 3.774 (Rp. 600.000 : 159) per liternya. Maka 
ditambah dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 menjadi Rp. 4.404 yang
 lantas dibulatkan menjadi Rp. 4.500. Karena sekarang harga sudah naik 
lagi menjadi USD 80 per barrel pemerintah tidak terima lagi, karena 
maunya yang menentukan harga adalah NYMEX, bukan bangsa sendiri. Dalam 
benaknya, pemerintah maunya dinaikkan sampai ekivalen dengan harga 
minyak mentah USD 80 per barrel, sehingga harga bensin premium menjadi 
sekitar Rp. 5.660, yaitu: Harga minyak mentah : USD 80 x 10.000 = Rp. 
800.000 per barrel. Per liternya Rp. 800.000 : 159 = Rp. 5.031, ditambah
 dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 = Rp. 5.660 Karena tidak 
berani, konsumen dipaksa membeli Pertamax yang komponen harga minyak 
mentahnya sudah sama dengan NYMEX”.
 
 M : “Kalau begitu 
pemerintah kan kelebihan uang tunai banyak sekali, dikurangi dengan yang
 harus dipakai untuk mengimpor, karena konsumsi sudah lebih besar 
dibandingkan dengan produksi”.
 
 Dj : “Memang, tapi rasanya toh 
masih kelebihan uang tunai yang tidak jelas ke mana perginya. Kaulah Mad
 yang harus meneliti supaya diangkat menjadi Profesor.”
Langganan:
Komentar (Atom)

