Sponsor

Kamis, 03 Januari 2013

Opik si Anak Ketupat


Aku anak bungsu dari lima bersaudara. Almarhum ayahku (Maas Bagindo Sati) adalah mantan penjahit. Ibu ku (Syamsidar) adalah ibu rumah tangga biasa yang berjualan ketupat dan nasi padang di rumah untuk menambah penghasilan suami tercinta. Hidup susah sangat akrab bagi kami sekeluarga. Semua di peroleh dengan kerja keras, tidak ada yang mudah. 

Aku ingat pernah suatu saat ketika usiaku masih kurang lebih 9 tahun ibu selalu mengajakku ke pasar kebayoran lama Jakarta Selatan untuk berbelanja kebutuhan jualan ketupat dan nasi padang nya. Dari tempat turun metro mini S71 ke pasar kebayoran lama kami selalu melewati rel kereta api dimana banyak anak kecil seusiaku mengumpulkan pasir yang tercecer dari kereta pengangkut barang yang hilir mudik. Ibu selalu mengingatkan ku untuk terus bersyukur karena tidak perlu bekerja seperti anak-anak itu. Yang dia harapkan dari ku hanya belajar sungguh-sungguh agar suatu saat bisa menjadi anak kebanggaan orang tua. Sampai menjelang tamat SD aku sudah ke pasar kebayoran lama seorang diri untuk berbelanja daun ketupat dan kebutuhan jualan ibu. Masih ingat diriku saat memanggul daun ketupat di bahu sementara tangan kananku membawa keranjang belanjaan.

Aku bangga dengan pekerjaan orangtua ku, meski kadang ada juga teman-teman yang meledek ku dengan sebutan "opik si anak ketupat". Ah biar saja , yang penting orangtua ku  mancari uang dengan cara yang halal.

Ketika menjahit sudah tidak lagi menghasilkan sementara faktor usia sudah mengganggu ayah dalam menekuni pekerjaan menjahitnya, belum lagi usaha ketupat dan nasi padang yang selalu "diganggu" pedagang lain dengan cara-cara yang tidak rasional (gaib), ayah dan ibu ku sepakat untuk banting stir menjadi penjual cabe dan bumbu giling di pasar bintaro Jakarta Selatan. Masih ingat jelas orang tuaku memulai usaha ini dengan meja kecil di tengah jalan di salah satu lorong di pasar bintaro dan beberapa baskom plastik kecil berisi cabe dan bumbu-bumbu giling. Belanja ke Pasar Induk Kramatjati sudah menjadi keseharianku sepulang sekolah. Sejak SMP  sampai SMA itu kulakukan dengan penuh kesadaran untuk membantu orangtua. Meskipun kadang agak kikuk kalau bertemu teman di angkot. Kalau mereka mau jalan-jalan atau ke Supermarket diriku jalan-jalan ke Pasar Induk hehe. Bahkan pernah aku menjadi guru privat mengaji untuk mendapatkan tambahan uang untuk sekedar membeli buku atau keperluan sekolah lainnya . Alhamdulillah Allah memberi jalan rizki kami di usaha cabe dan bumbu giling sampai kami bisa punya kios yang agak besar. 

Kerja keras juga menjadi syarat mutlak kami di dunia pendidikan. Abang tertuaku hanya sampai SMA dan terputus sekolahnya karena ingin bekerja sebagai pramuniaga di toko alat -alat olahraga & musik  untuk membantu orangtua , saat ini Alhamdulillah bisa menghidupi keluarga  melalui bisnis alat elektronik & musik nya . Kakak perempuanku yang nomer dua sampai hanya SPG dan berlanjut menjadi guru mengaji dan  TK sampai akhirnya saat ini sudah bisa S1 dan menjadi Pegawai Negri. Kakak perempuanku yang nomer tiga Alhamdulillah bisa kuliah di IAIN Jakarta dengan perjuangan yang luar biasa susahnya, saat ini menjadi guru SD (PNS) di daerah Bogor.  Kakak perempuanku yang nomer empat hanya sampai SMEA dan menjadi penjaga toko saudara dari ibu  di pasar pondok labu sampai akhirnya Allah memberikan jalan saat ini menjadi pedagang sukses di daerah serpong. Aku yang menjadi anak paling bungsu pun tak kalah spesial. Setelah tamat SMA namun gagal lulus UMPTN dan ujian STAN ternyata diberikan Allah jalan kuliah gratis dengan tambahan uang saku di STMA TRISAKTI (d/h AKASTRI) . Hingga sampai saat ini masih diberikan rizki untuk menghidupi anak dan istri sebagai karyawan di perusahaan asuransi.

Pahit dan getir yang ku lalui dari kecil hingga dewasa membentuk ku menjadi orang yang tidak neko-neko. Sadar diri siapa diriku dulu dan siapa diriku sekarang membuatku enggan untuk berprilaku "nyeleneh" meski hal itu sudah menjadi bagian tugas dan pekerjaan di dunia jasa yang penuh dengan hal-hal yang berbau entertainment. Bahkan  beberapa teman dan atasan menganggapku terlalu kaku dan tidak fleksibel. Ah biar saja.  Bagiku meski aku bukanlah manusia sempurna namun aku harus terus berusaha untuk menjadi lebih baik meski tak sempurna. Sadar diri bahwa aku adalah  hamba yang sangat kurang dalam amal ibadah membuatku masih menjaga prinsip-prinsip yang ditanamkan orangtuaku sejak kecil.Paling tidak  masih ada prinsip-prinsip yang bisa kupertahankan di tengah dunia yang sudah kacau balau saat ini. Biar saja dianggap aneh karena aku yakin "keanehan" ku akan membawa kebaikan bagiku suatu saat nanti. Bagiku hidup bukan hanya untuk saat ini tapi persiapan menuju kehidupan yang lebih kekal dan abadi.

Impian ku saat ini bagaimana aku bisa menjadi Suami dan Ayah yang bisa dibanggakan , menjadi adik yang bisa dibanggakan, menjadi anak yang bisa dibanggakan, dan menjadi hamba yang bisa dibanggakan oleh Nya. Ibarat sebuah film, besar harapanku agar hidupku dapat berakhir dengan "happy ending" dan dapat dikenang karena membawa manfaat bagi semua orang yang mencintai ku.



1 komentar: